Senin, 24 Maret 2014

Tugas 3 (Fenomena : Endemi, Pandemi, Sporadik dan Epidemi)

Fenomena-fenomena Endemi, Pandemi, Sporadik dan Epidemi

1.      1. Endemi: frekuensi penyakit pada wilayah tertentu menetap dan waktu yang lama

Contoh Kasus:

Muhammad Rohali
Rabu,  4 Desember 2013  −  16:03 WIB
Sindonews.com - Sebanyak 5 kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) termasuk wilayah endemis penyakit gajah atau filariasis. Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI.

Tak pelak jika Kabupaten OKI menjadi daerah sasaran pengobatan masal dari program United States Agency for International Development (USAID) dari tahun 2013 hingga 2017 mendatang.

Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan (dikes) OKI, M Hakim, dalam rangka Pemberian Obat Massa Pencegahan (POMP), penyakit kaki gajah (filariasis) tahun 2013 di Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten OKI, Rabu (4/12/2013).

”Ada lima kecamatan di OKI yang termasuk indemis kaki gajah, yakni Kecamatan Tanjung Lubuk, Kayuagung, Teluk Gelam, SP Padang dan Kecamatan Cengal,” kata Hakim.

Oleh sebab itu, lanjut Hakim, Dinas Kesehatan Kabupaten OKI telah melakukan langkah-langkah untuk melakukan pencegahan dan pengobatan.

”Salah satu upaya pencegahan itu adalah dengan cara pemberian obat filariasis kepada warga di beberapa Kecamatan di wilayah di OKI yang termasuk edemis penyakit kaki gajah, seperti yang kita lakukan sekarang ini,” katanya.
Sementara itu menurut Hakim, dalam dunia kesehatan, penyakit kaki gajah yang biasa disebut sebagai filariasis atau elephantiasis, yang merupakan golongan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya.
 (rsa)

2. Pandemi:  Frekuensi meningkat dengan drastis dalam waktu singkat pada wilayah yang luas.

Flu babi telah menyita perhatian warga dunia setelah menyerang sejumlah warga Meksiko. Berdasarkan laporan Associated Press(AP), hingga 27 April telah meninggal dunia sebanyak 103 orang dari 1.614 orang di Meksiko. Laporan AP juga menyebutkan suspect flu babi telah menyebar pada sedikitnya delapan negara, diantaranya Kanada, Amerika Serikat, Prancis, dan Selandia Baru. Pemerintah Kanada telah mendapatkan kasus flu babi pertama pada 27 April lalu, sedang Amerika Serikat, Prancis dan Selandia Baru telah melaporkan kasus serupa beberapa hari sebelumnya.
Para pengidap flu babi di Kanada ternyata sebelumnya telah mengadakan kontak dengan sejumlah orang yang baru datang dari Mexico. Demikian halnya dengan kasus di Selandia Baru yang menimpa beberapa pelajar di Rangitoto College, sebelumnya melakukan aktifitas belajar (study tour) di Mexico dan telah dinyatakan positif flu babi. Kasus di Selandia Baru mirip dengan kasus di Amerika Serikat karena sama-sama menimpa para pelajar. Di AS, dari sekitar 100 pelajar di sekolah swasta Saint Francis di wilayah Queen, 11 kasus diantaranya positif flu babi.
Laporan pemerintah Meksiko, virus flu babi telah menyerang sedikitnya 1.300 orang, sedang 900 orang diantaranya dinyatakan sembuh. Sementara empat daerah pada Negara tersebut dinyatakan rawan flu babi, termasuk Meksiko City. Berdasarkan data KBRI di Meksiko, dari 90 orang WNI yang bermukim di Mexico, 70 orang diantaranya berada di Ibukota Meksiko itu.
Fenomena flu babi yang menyebar secara cepat ke berbagai negara dapat menyebabkan terjadinya pandemi yakni penyebaran virus flu babi secara global. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pun menggelar pertemuan dengan ahli kesehatan guna membahas kasus flu babi yang telah menjadi ancaman baru kesehatan masyarakat dunia.
Penyakit virus flu babi pertama dikenal sejak tahun 1918, pada saat itu didunia sedang terdapat wabah penyakit influenza secara pandemik pada manusia yang menelan korban sekitar 21 juta orang meninggal dunia (Hampson, 1996).
Dilihat dari namanya, berarti sumber asal penyakit berasal dari babi, binatang yang banyak dikonsumsi kaum Non-Muslim. Flu babi mulai dikenal dari pertanian dan peternakan babi di wilayah Midwest, AS beberapa dekade silam.Sebelum virus flu babi hinggap ke tubuh manusia, semua gen virus flu babi mempunyai tempat-tempat persinggahan sebagai vektor penyebarannya. Ciri -ciri orang yang menderita penyakit flu babi adalah mengalami demam lebih dari 39 derajat celcius, sakit kepala, mengalami pegal linu dan iritasi mata.
Cara penyebaran virus influenza dari babi ke babi dapat melalui kontak moncong babi dan melalui udara atau droplet. Faktor cuaca dapat mempercepat penularan virus meski virus tidak akan tahan lama di udara terbuka. Sub tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia, demikian juga sub tipe H3N2 yang merupakan sub tipe lain dari influensa A. H1N1, H1N2 dan H3N2 merupakan ke 3 subtipe virus influenza yang umum ditemukan pada babi yang mewabah di Amerika Utara (Webby et al., 2000; Rota et al., 2000; Landolt et al., 2003), tetapi pernah juga sub tipe H4N6 diisolasi dari babi yang terkena pneumonia di Kanada (Karasin et al., 2000). Sejak tahun 1991, telah diidentifikasi subtype virus avian influaenza, yakni H3N2, H4N2, H6N6, H5N2, H5N9, H7N1, H7N3, H9N2, H10N4, dan H10N7.
Babi sebagai karier penyakit telah lama diketahui di Denmark, Jepang, Italy dan Inggris. Manusia dapat terkena penyakit influenza secara klinis dan dapat menularkannya pula pada babi. Kasus infeksi sudah dilaporkan pada pekerja di kandang babi di Eropa dan di Amerika. Penyakit pada manusia umumnya terjadi pada kondisi musim dingin. Transmisi kepada babi yang dikandangkan atau hampir di ruangan terbuka dapat melalui udara seperti pada kejadian di Perancis dan beberapa wabah penyakit di Inggris.
Sejak tahun 1930 ketika pertama kali virus flu babi diisolasi, sudah banyak aspek dari penyakit tersebut yang diungkapkan, antara lain meliputi tanda klinis, lesi, imunitas, transmisi, adaptasi virus terhadap hewan percobaan dan hubungan antigenik dengan virus influensa lainnya serta kejadian penyakit di alam.
Influensa babi yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh influensa A H1N1, sedangkan di banyak negara Eropa termasuk Inggris, Jepang dan Asia Tenggara disebabkan oleh influensa A H3N2. Banyak isolat babi H3N2 dari Eropa yang mempunyai hubungan antigenik sangat dekat dengan A/Port Chalmers/1/73 strain asal manusia. Peristiwa rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang dilaporkan di Jepang (Hayashi et al., 1993).
Pencegahan penyebaran Flu babi dapat dilakukan dengan cara pemakaian masker, mencuci tangan dengan sabun dan menghindari berjabat tangan dengan suspect flu babi. Bila terlanjur terjangkit virus flu babi, langkah selanjutnya bisa dengan cara mengkarantina di rumah sakit untuk mendapatkan vaksinasi.

3. Sporadik: Frekuensi berubah-ubah menurut waktu pada wilayah tertentu.

            Membahas mengenai sporadik, kita akan mengingat kembali fenomena yang sangat mengejutkan beberapa tahun silam, laporan Tempo.co satu ini akan menjadi bukti pernah terjadinya fenomena berikut.
TEMPO.CO , Jakarta - Serangga pembuat gatal yang menyerang kawasan Surabaya, tomcat, ternyata berguna bagi ekosistem darat. “Dia predator wereng yang mengganggu padi," kata Kepala Bidang Pertanian dan Kehutanan Dinas Pertanian Surabaya, Alexandro S. Yahaya, Selasa, 20 Maret 2012
Jadi meski sudah masuk kategori hama (hewan pengganggu), Alex tak setuju jika serangga bernama ilmiah Paederus Riparius  itu dibasmi. Apalagi dengan pestisida yang mengandung residu berbahaya bagi manusia. "Kalau saya justru mengusulkan dengan pestisida alami," katanya.
Sebab, jika dibasmi, bisa-bisa wereng menggurita dan justru berbahaya bagi ketahanan pangan. Jadi secara jangka panjang justru akan mengancam nasib manusia. Apalagi lahan pertanian di Surabaya semakin menyusut.
Menurut dia, tomcat muncul di permukiman karena keseimbangan alam terganggu. "Padi tidak ada, sehingga inangnya juga tidak ada, maka dia cari tempat lain," ujar Alex. Pada kasus serangan pertama tomcat di Surabaya tahun lalu, rumah susun yang didatangi kumbang Rove itu berada di samping sawah.
Alhasil ketika musim panen usai kumbang berwarna oranye hitam itu mampir ke permukiman warga. "Mereka cari sinar," ujar Alex. Tomcat suka dengan kawasan yang banyak ilalang, bakau, kumuh, dan kotor. Kalau di perumahan, kumbang itu suka di jemuran atau kamar mandi.
Alex menyarankan penduduk mematikan lampu jika tidak perlu. Lalu membersihkan pekarangan dan banyak bercocok tanam. Sebab tanaman bisa jadi inang tomcat, sehingga tidak perlu mengganggu manusia. "Pengamatan saya, di rumah yang banyak tanaman dan bersih, tomcat paling hanya satu atau dua," ujar dia.

4. Epidemi: Suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat.

JAKARTA (RP) - Kasus penyakit HIV/AIDS di Indonesia terus berkembang, sejak dari kasus pertama tahun 1987 sampai tahun 2012. Berdasarkan data Kemenkes, rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai September 2012 adalah 11 per 100 ribu penduduk.

Meski begitu, Menkes Nafsiah Mboi menyatakan ada kabar baik bagi kasus penyakit mematikan tersebut. Dia mengatakan jumlah kasus HIV/AIDS dan angka kematian akibat penyakit tersebut, mengalami penurunan pada periode Januari hingga September 2012. "Untuk tahun ini jumlah kasus dan angka kematiannya bisa turun," ujar Nafsiah di gedung Kemenkes, Jumat (30/11).

Nafsiah menjelaskan, pada 2005-2009, jumlah kasus dan angka kematian akibat HIV/AIDS memang masih fluktuatif. Namun, angka tersebut kemudian naik drastis pada tahun 2010 dan 2011.

Pada 2012 ini untuk pertama kalinya  terjadi penurunan. Tercatat, pada 2009 ada 9793 kasus HIV, 5458 kasus AIDS, dan 960 orang meninggal. Tahun berikutnya, terjadi peningkatan angka dengan 21591 kasus HIV, 6476 kasus AIDS, dan 1185 penderita meninggal.

Kemudian pada tahun 2011, angka kasus HIV tercatat sejumlah 21031, angka kasus AIDS 6178, dan jumlah kematian turun hingga 825 orang.

"Sementara sampai September tahun ini, kasus HIV tercatat menurun hingga 9883 kasus, kasus AIDS turun hingga 3541 kasus, dan angka kematian turun menjadi 514 orang," jelasnya.

Nafsiah menyebut penurunan tersebut dipengaruhi penyebaran pengobatan HIV/AIDS di 33 provinsi, dan kerjasama dengan sejumlah jaringan seperti asosiasi pekerja seks Indonesia, persaudaraan korban narkotika, asosiasi waria, dan Ikatan Perempuan Positif Indonesia, dalam melakukan sosialisasi.

"Kerjasama dengan merekalah yang membuat angka tahun ini turun. Kalau melihat data ini, kita boleh optimistik angkanya akan lebih baik lagi ke depannya," kata Nafsiah.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, berdasar hasil MDGS Global Fund tahun 2011, angka penggunaan kondom di Indonesia tercatat masih minim. "Mereka menganggap kita kurang efektif dalam upaya pencegahan HIV/AIDS," ujar Nafsiah di kantornya, Jumat, 30 November 2012.

Meski begitu, Menteri 72 tahun tersebut masih menyayangkan laki-laki berperilaku seks beresiko yang cenderung tak mau menggunakan kondom. Berdasar data Kemenkes, pada tahun 2011, ada 61 persen lelaki pelaku hubungan seks dengan perempuan pekerja seks komersial yang menggunakan kondom.

Persentase itu menurun 7 persen dari tahun 2007. Sementara pada waria, angka penggunaan kondom pada 2011 meningkat 2 persen menjadi 80 persen, dari empat tahun sebelumnya. Sedangkan pada hubungan lelaki seks lelaki (LSL), persentase penggunaan kondom menurun 1 persen dari 2007.

"Ini yang kita sesalkan, mereka nggak mau pakai kondom. Nanti kalau kena penyakitnya, minta kita yang bayar. Bagaimana bisa mengharapkan tujuan MDG tercapai, jika penggunaan kondom menurun, sedangkan jumlah orang yang datang lokasi seks berisiko meningkat," tegasnya.

Sementara itu, dari data Kemenkes tahun 1987 hingga September 2012, Provinsi Papua tercatat sebagai daerah dengan penderita HIV tertinggi di Indonesia. Papua terdata memiliki 7572 kasus HIV, diikuti DKI Jakarta dengan 6299 kasus, Jawa Timur 5257 kasus, Jawa Barat 4098 kasus, Bali 2939 kasus, dan Jawa Tengah 2503 kasus. Sementara Kalimantan barat terdapat 1699 kasus, Sulawesi Selatan dengan 1377 kasus, Riau 755 kasus dan Sumatera Barat 715 kasus.

Pemerintah berharap angka kasus dan kematian akibat HIV/AIDS bisa menurun, dengan pencegahan seperti promosi perilaku hidup sehat, pendidikan moral dan kesehatan reproduksi, serta pemberian pengetahuan tentang narkotika. Sedangkan untuk penanganan, pemerintah menekankan pada promosi penggunaan kondom dan pengobatan penyakit kelamin di lokasi seks berisiko. (Ken)

Tugas 2 (Mother of Public Health)

 Mother of Public Health 
            The Core of Public Health Science is Epidemiology, hal ini merupakan suatu pernyataan yang dibuktikan melalui berbagai pendapat para ahli di antaranya B. Burt Gerstman: dalam buku yang berjudul “Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Traditional and Modern Epidemiology” (2nd ed., greatly expanded) B. Burt Gerstman menyebutkan bahwa inti dari Kesehatan Masyarakat adalah Epdemiologi melalui pernyataan:

*English:
“Traditionally, epidemiology has been studied as the core science of public health. As such, it provided the objective basis for disease prevention and health promotion. Public health professionals of all types must communicate risk and read epidemiologic information. Epidemiology provides the tools to evaluate health problems and policies on a population basis.”

*Indonesia:
“Secara tradisional, epidemiologi telah dipelajari sebagai inti dari ilmu kesehatan masyarakat. Dengan demikian, hal itu memberikan dasar obyektif untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Profesional kesehatan masyarakat dari semua jenis harus mengkomunikasikan risiko dan membaca informasi epidemiologi. Epidemiologi menyediakan alat untuk mengevaluasi masalah kesehatan dan kebijakan secara populasi.”

Definisi Faktor Risiko

Definisi Faktor Risiko 

          Risk Factor atau Faktor Resiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu resiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor resiko di sebut juga faktor penentu, yaitu menentukan berapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit. Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan resiko terserang sutu penyakit. Faktor resiko adalah salah satu bagian dari ilmu Epidemiologi. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta faktor yang terkait di tingkat populasi. Epidemiologi pada penyakit menular di sebut  etiologi sedangkan pda penyakit tidak menular di sebut faktor resiko.
          Faktor resiko merupakan karakteristik, kebiasaan, tanda atau gejala yang tampak pada seseorang atau populasi sebelum terserang suatu penyakit. Namun secara keilmuan, faktor resiko memiliki definisi tersendiri, yaitu karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit yang diderita induvidu yang mana secara statistic  berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus baru berikutnya (beberapa induvidu lain pada suatu kelompok masyarakat. Setiap faktor resiko memiliki korelasi tetapi korelasi tidak dapat membuktikan hukum sebab-akibat yang mungkin muncul. Metode statistik seringkali digunakan untuk menilai kekuatan sebuah asosiasi dan untuk memberikan bukti kausal , contoh yang paling sederhana adalah dalam studi tentang hubungan antara merokok dan kanker paru-paru. Analisis statistik bersama dengan pendekatan dalam bidang biologi dan medik dapat menetapkan faktor risiko penyebab. Beberapa memilih term faktor risiko sebagai penentu penyebab meningkatnya angka penyakit, meski kaitan ini belum terbukti disebut risiko, asosiasi, dan lain-lain.
Secara umum, faktor resiko terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat di intervensi, antara lain:
  • Faktor genetik
  • Jenis kelamin
  • Usia
2. Faktor risiko yang dapat di intervensi, antara lain:
  • Kebiasaan buruk,
  • gaya hidup,
  • pola makan
  • obesitas, dll
Menentukan faktor resiko memiliki beberapa kegunaan, diantaranya:
  • Untuk memprediksi, meramalkan kejadian penyakit, misalnya perokok berat mempunyai kemungkinan 10 kali untuk kanker paru daripada bukan perokok.
  • Untuk memperjelas penyebab artinya kejelasan atau beratnya faktor resiko dapat  menjadikannya sebagai factor penyebab.
  • Untuk mendiagnosa artinya membantu proses diagnose, dll
Setiap faktor resiko memiliki penanda resiko atau risk marker, yaitu suatu variabel yang secara kuantitatif berhubungan dengan penyakit.

Definisi Sehat Menurut WHO

           Definisi sehat dimulai pada zaman keemasan yunani bahwa sehat merupakan keadaan standart yang harus dicapai dan dibanggakan. Sedangkan sakit sebagai salah satu yang tidak bermanfaat. Pada tahun 50-an, World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan sehat sejahtera fisik, mental, sosial, dan bukan bebas dari penyakit atau kelemahan. Lalu pada tahun 80-an, definisi sehat menurut WHO mengalami perubahan seperti yang tertera dalam Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, yaitu memasukkan unsur hidup produktif baik sosial maupun ekonomi. Pembahasan mengenai kesehatan tentunya tidak terlepas dari definisi klasik WHO tentang kesehatan, yaitu kesehatan sempurna baik fisik mental dan sosial serta tidak menderita sakit atau kelemahan. Mengapa WHO memasukan istilah sosial, karena sosial berarti hidup bersama dalam kelompok dalam situasi yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. (Ferry Efendi,2009).

         Menurut WHO yang dimaksud dengan sehat adalah kondisi sehat sejahtera baik secara fisik, mental ataupun sosial yang ditandai dengan tidak adanya gangguan-gangguan atau simtom-simtom penyakit, seperti keluhan sakit fisik-keluhat emosional (Papalia, Olds, dan Feldman, 1998, Sarafindo, 1994)
Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) th. 1948 mengatakan bahwasanya pengertian kesehatan yaitu untuk satu situasi fisik, mental, serta sosial kesejahteraan serta tidak cuma ketiadaan penyakit atau kekurangan Pada th. 1986, WHO, dalam Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan, menyampaikan bahwasanya pengertian kesehatan yaitu “sumber daya untuk kehidupan keseharian, bukan hanya maksud hidup Kesehatan yaitu rencana positif mengutamakan sumber daya sosial serta pribadi, dan kekuatan fisik.

Menurut WHO, ada empat komponen utama yang disebut satu kesatuan dalam pengertian sehat yaitu :

1. Sehat Jasmani
Sehat jasmani adalah komponen utama dalam makna sehat sepenuhnya, berbentuk sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bercahaya, rambut tersisir rapi, kenakan pakaian rapi, berotot, tak gemuk, nafas tak bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit serta semua manfaat fisiologi badan jalan normal.

2. Sehat Mental
Sehat Mental serta sehat jasmani senantiasa dikaitkan keduanya dalam pepatah kuno Men Sana In Corpore Sano yang berarti Jiwa yang sehat ada didalam badan yang sehat. Atribut seseorang insan yang mempunyai mental yang sehat yaitu seperti berikut :
Senantiasa merasa senang dengan apa yang ada pada dianya, tak sempat menyesal serta kasihan pada dirinya sendiri, senantiasa senang, enjoy serta mengasyikkan dan tak ada sinyal tanda konflik kejiwaan.
Bisa bergaul dengan baik serta bisa terima kritik dan tak gampang tersinggung serta geram, senantiasa pengertian serta toleransi pada keperluan emosi orang lain.
Bisa mengontrol diri serta tak gampang emosi dan tak gampang takut, cemburu, tidak suka dan hadapi serta bisa merampungkan persoalan dengan cara cerdik serta bijaksana.

3. Kesejahteraan Sosial
Batasan kesejahteraan sosial yang ada di tiap-tiap area atau negara susah diukur serta benar-benar bergantung pada kultur, kebudayaan serta tingkat kemakmuran penduduk setempat. Dalam makna yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial yaitu situasi kehidupan berbentuk perasaan aman damai serta sejahtera, cukup pangan, sandang serta papan. Dalam kehidupan penduduk yang sejahtera, penduduk hidup teratur serta senantiasa menghormati kebutuhan orang lain dan penduduk umum.

4. Sehat Spiritual
Spiritual adalah komponen penambahan pada pengertian sehat oleh WHO serta mempunyai makna utama dalam kehidupan keseharian penduduk. Tiap-tiap individu butuh memperoleh pendidikan resmi ataupun informal, peluang untuk liburan, mendengar alunan lagu serta musik, siraman rohani seperti ceramah agama serta yang lain supaya berlangsung keseimbangan jiwa yang dinamis serta tak monoton.

Ke empat komponen ini di kenal untuk sehat positif atau dikatakan sebagai “Positive Health” .

Sumber :

Efendi, Ferry, dan Makhfudli . Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2009.

Minggu, 23 Maret 2014

Teori Penyebab Terjadinya Penyakit

TEORI PENYEBAB TERJADINYA PENYAKIT
A.      Penyebab Penyakit
         Kejadian A    →   Kejadian B
                ↓                           ↓
Sebab         →      Akibat 

= Sebuah peristiwa, kondisi, karakteristik/kombinasi dari faktor2 tersebut yang memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit . Penyebab itu harus mendahului akibat.
B.      Pengertian Penyakit
         Kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan / tekanan sehingga timbul pada gangguan pada sistem / fungsi dari tubuh.
C.      Teori Terjadinya Penyakit :
1.       Teori Contangion
Teori ini adalah teori yang paling sederhana, bahwa panyakit berasal dari kontak langsung antar penyakit seperti penyakit cacar dan herpes. Kontak langsung ini dapat berupa lewat media kulit (panu), melalui jarak jauh (udara/bersin), bersinggunangan dengan penyakitnya dan zat penular lainnya (kontangion).
Konsep teori contangion dicetuskan oleh Girolamo Fracastoro (1483-1553) yang mengatakan bahwa penyakit ditularkan dari satu orang ke orang lainnya melalui zat penular (transference) yang disebut kontangion. Girolamo membedakan 3 macam kontangion, yaitu pertama, jenis kontangion yang dapat menular melalui kontak langsung (bersentuhan, berciuman, hubungan seksual), kedua, jenis kontangion yang menular melalui benda-benda perantara (benda tersebut tidak tertular, namun mempertahankan benih dan kemudian menularkan pada orang lain) misalnya melalui pakaian, handuk dan sapu tangan, ketiga, jenis kontangion yang dapat menularkan dengan jarak jauh.
2.       Teori Hippocrates

Teori Hipocrates menyatakan bahwa sebuah penyakit terjadi karena faktor lingkungan seperti udara, tanah, cuaca dan air. Bapak kedokteran dunia, Hipocrates (460-377 SM), berhasil membebaskan hambatan filosofis yang bersifat spekulatif superstitif (tahayul) dalam mengartikan terjadinya penyakit pada zamannya. Hipocrates menyebutkan 2 teori asal terjadinya penyakit yaitu, pertama, penyakit terjadi karena adanya kontak dengan jasad hidup, dan kedua, penyakit berkaitan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang. Kedua teori tersebut termuat dalam bukunya yang berjudul “On Airs, Water and Places”.
Hipocrates merupakan orang yang sama sekali tidak mempercayai hal-hal yang berbau tahayul, ia meyakini bahwa penyakit terjadi karena proses alamiah belaka. Ia juga mengatakan bahwa masalah lingkungan dan perilaku penduduk dapat mempengaruhi tersebarnya penyakit pada masyarakat.
3.       Teori Humoral
         Penyakit timbul akibat gangguan dari keseimbangan cairan dalam tubuh. Tubuh terdiri dari  4 cairan (putih, kuning, merah dan hitam) à Bila terjadi ketidak keseimbangan, timbul penyakit. Jenis penyakit tergantung pada jenis cairan yang dominan.  Berkembang dari Cina.
4.       Teori Miasma
Timbulnya penyakit adalah berasal dari uap sisa hasil pembusukan makhluk hidup, barang yang membusuk atau dari buangan limbah yang tergenang, sehingga mengotori udara dan dipercaya sebagai mengambil bagian dalam proses penyebaran penyakit. Konsep ini muncul pada sekitar abad 18-19.
Waktu itu, ada kepercayaan bahwa bila seseorang menghirup miasma, maka ia akan terkena penyakit. Pencegahannya dapat dilakukan dengan menutup rumah rapat-rapat terutama di malam hari, karena orang percaya udara malam cenderung mengandung miasma. Kemudian, kebersihan juga dianggap hal penting untuk dapat mencegah/menghindari miasma tersebut. Saat ini cara sanitasi yang dilakukan sangat efektif mengurangi tingkat kematian.
5.       Teori Jasad Renik
          Penemuan-penemuan di bidang mikrobiologi dan parasitologi oleh Louis Pasteur (1822-1895), Robert Koch (1843-1910), Ilya Mechnikov (1845-1916) dan para pengikutnya merupakan era keemasan teori kuman. Para ilmuwan tersebut mengemukakan bahwa mikroba merupakan etiologi penyakit.
          Louis Pasteur pertama kali mengamati proses fermentasi dalam pembuatan anggur. Jika anggur terkontaminasi kuman maka jamur mestinya berperan dalam proses fermentasi akan mati terdesak oleh kuman, akibatnya proses fermentasi gagal. Proses pasteurisasi yang ia temukan adalah cara memanasi cairan anggur sampai temperatur tertentu hingga kuman yang tidak diinginkan mati tapi cairan anggur tidak rusak. Temuan yang paling mengesankan adalah keberhasilannya mendeteksi virus rabies dalam organ saraf anjing, dan kemudian berhasil membuat vaksin anti rabies. Atas rintisan temuan-temuannya memasuki era bakteriologi tersebut, Louis Pasteur dikenal sebagai Bapak dari Teori Kuman.
Robert Koch juga merupakan tokoh penting dalam teori kuman. Temuannya yang paling terkenal dibidang mikrobiologi  adalah Postulat Koch yang terdiri dari:
1.      Kuman harus dapat ditemukan pada semua hewan yang sakit, tidak pada yang sehat,
2.      Kuman dapat diisolasi dan dibuat biakannya,
3.      Kuman yang dibiakkan dapat ditularkansecara sengaja pada hewan yang sehat dan menyebabkan penyakit yang sama
4.      Kuman tersebut harus dapat diisolasi ulang dari hewan yang diinfeksi.
6.       Teori Ekologi Lingkungan
Manusia berinteraksi dengan berbagai faktor penyebab dalam lingkungan tertentu. Pada keadaan tertentu akan menimbulkan penyakit. 
Dalam teori ekologi lingkungan terdapat :
1.      Model Gordon (Epidemiologic Triangle)
Teori ini di kemukakan oleh John Gordon pada tahun 1950 dan dinamakan model Gordon sesuai dengan nama pencetusnya. Model gordon ini menggambarkan terjadinya penyakit pada masyarakat, ia menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit yang mempunyai titik tumpu di tengah-tengahnya, yakni lingkungan (L). Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A, H. Dalam model ini A, H dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga terjadi keadaan sehat ataupun sakit, dimana :
A = agent/penyebab penyakit
B = host/populasi berisiko tinggi, dan
C = lingkungan
            Interaksi di antara tiga elemen tadi terlaksana karena adanya faktor penentu pada setiap elemen. Model ini mengatakan bahwa apabila pengungkit tadi berada dalam keseimbangan, maka dikatakan bahwa masyarakat berada dalam keadaan sehat. Dalam pandangan epidemiologi klasik dikenal segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle) yang digunakan untuk menganalisis terjadinya penyakit.

2.    The wheel of causation (Teori Roda) 
Model ini menggambarkan hubungan manusia dan lingkungannya sebagai roda. Roda tersebut terdiri atas manusia dengan substansi genetik pada bagian intinya dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi penjamu. Ukuran komponem roda bersifat relatif, tergantung problem spesifik penyakit yang bersangkutan. Contoh pada penyakit herediter tentunya proporsi inti genetikrelatif besar, sedang penyakit campak status imunitas penjamu dan biologik lebih penting daripada faktor genetik. Peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya dalam hal stres mental, sebaliknya pada penyakit malaria peran lingkungan biologis lebih besar.
Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agen. Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.
Teori ini merupakan pendekatan lain untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan lingkungan. Roda terdiri daripada satu pusat (pejamu atau manusia) yang memiliki susunan genetik sebagai intinya. Disekitar pejamu terdapat lingkungan yang dibagi secara skematis ke dalam 3 sektor yaitu lingkungan biologi, sosial dan fisik.
Besarnya komponen-kompenen dari roda tergantung kepada masalah penyakit tertentu yang menjadi perhatian kita. Untuk penyakit-peyakit bawaan (herediter) inti genetik relatif lebih besar. Untuk kondisi tertentu seperti campak, inti genetik relatif kurang penting oleh karena keadaan kekebalan dan sektor biologi lingkungan yang paling berperanan. Pada model roda, mendorong pemisahan perincian faktor pejamu dan lingkungan, yaitu suatu perbedaan yang berguna untuk analisa epidemiologi. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbW-Xx64RDK_rZjLDvQ5UGWRSa31oH3BK3L1vwCtqGUoI05mKSNzjGi1kucpVI2yNCKG44EYVKeot6-TGLNAoO914LfeQrLj8dro5-0mCgjoWTIO8pR3Y_CyHd_hBCgcEBQNUJbzH4RLQ/s1600/wheel.jpg 
3.    The web of causation (jaring-jaring sebab akibat)
Teori jaring-jaring sebab akibat ini ditemukan oleh Mac Mohan dan Pugh (1970). Teori ini sering disebut juga sebagai konsep multi factorial. Dimana teori ini menekankan bahwa suatu penyakit terjadi dari hasil interaksi berbagai factor. Misalnya factor interaksi lingkungan yang berupa factor biologis, kimiawi dan social memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit.
            Menurut model ini perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan akibat. Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong mata rantai pada berbagai titik.
Hakikat konsep ini adalah efek yang terjadi tidak tergantung kepada penyebab-penyebab yang terpisah secara mandiri, tetapi lebih merupakan perkembangan sebagai suatu akibat dari suatu rangkaian sebab-akibat, dimana setiap hubungan itu sendiri hasil dari silsilah (geneologi) yang mendahuluinya dan yang kompleks (complex geneology of antecenden).
Suatu penyakit tidak tergantung kepada penyebab yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab akibat. Penyakit juga dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong mata rantai di berbagai faktor.
Contoh: Jaringan sebab akibat yang mendasari penyakit jantung koroner (PJK) dimana banyak faktor yang merupakan menghambat atau meningkatkan perkembangan penyakit.
Beberapa dari faktor ini instrinsik pada pejamu dan tetap (umpama LDL genotip), yang lain seperti komponen makanan, perokok, inaktifasi fisik, gaya hidup dapat dimanipulasi.

Sumber: 
Budiarto,E dan Anggraeni, D. Pengantar epidemiologi edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku 
              Kedokteran EGC, 2001.

Chandra, Budiman. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: Penerbit 
              Buku Kedokteran EGC, 2006.

Martini. Modul Materi Dasar Epidemiologi semester 3.Semarang. 2010.
 


Senin, 17 Maret 2014

Tugas 1 (Penyakit Filariasis)


Tugas 1

 Masalah: Kaki Gajah (Filariasis)
Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut (Depkes RI, 2009).
Ada tiga spesies yang menjadi penyebab filariasis diantaranya Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kalenjar getah bening manusia selama 4-6 tahun. Dalam tubuh manusia cacing dewasa menghasilkan jutaan anak cacing (mikroflaria) yang beredar dalam darah terutama pada malam hari. Di Indonesia jenis cacing filarial yang menginfeksi adalah Wuchereria bancrofti 
Wuchereria bancrofti. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kalenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65 – 100 mm x 0,25 mm dan cacing jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 – 300 mikron x 7 - 8 mikron. Mikrofilaria ini hidup didalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru-paru, jantung, ginjal). (Gandahusada,2001). 
Nyamuk pembawa mikrofilaria menggigit manusia dan memindahkan larva infektif tersebut. Bersama aliran darah larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta berkembang biak. Cacing filarial dalam tubuh manusia terdeteksi pada malam hari, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh manusia. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi. Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah pada malam hari dan siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah besar pada malam hari dan banyak ditemukan dalam kapiler dan pembuluh darah paru-paru. (Onggowaluyo,2001) 
Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vector filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vector Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. 

Hospesnya antara lain:
   a. Manusia. Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada,1998). 

         b. Hewan. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodic yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005). 

Contoh Kasus:
SUKABUMI--Kasus penyakit kaki gajah atau filariasis di Kabupaten Sukabumi mencapai 30 kasus. Jumlah tersebut didasarkan temuan gejala penyakit kaki gajah sejak tahun 2006 lalu.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sukabumi mengungkapkan, pada tahun 2006 lalu jumlah penderita kaki gajah mencapai 14 orang, tahun 2007 sebanyak empat orang, 2008 sebanyak sembilan orang dan tahun 2009 hanya sebanyak tiga orang. Puluhan penderita kaki gajah tersebar di sebanyak 40 lokasi.
''Kasus penyakit kaki gajah tidak sebanyak daerah lain di Jabar yang masuk wilayah endemik,''ujar Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinkes Kabupaten Sukabumi, Tejo Sriwijoyo, Rabu (25/11). Dicontohkannya, pada tahun 2009 ini, Dinkes hanya menemukan tiga kasus penyakit kaki gajah di Kabupaten Sukabumi.
Menurut Tejo, puluhan warga yang menderita penyakit kaki gajah telah mendapatkan penanganan dari tim medis. Selain itu, Dinkes sudah mengambil sampel darah warga yang berada di sekitar penderita kaki gajah.
''Sepanjang tahun ini, kami sudah mengambil sampel darah warga di 20 lokasi berbeda,''terang Tejo. Lokasi pengambilan sampel itu diantaranya adalah Kecamatan Sukalarang, Pabuaran, Cicantayan, Parungkuda, Cicurug, Ciracap dan Lengkong.
Dari setiap lokasi, kata Tejo diambil sampel darah warga sebanyak 500 orang. Setelah hasil pemeriksaannya keluar, ternyata tidak satupun warga yang positif terkena kaki gajah. Sehingga langkah pengobatan massal filariasis di wilayah Kabupaten Sukabumi, belum perlu dilakukan. riga/rin
Sumber: Republika Online

Analisis Masalah:
a.       Frekuensi
Frekuensi menunjukkan besarnya masalah kesehatan. Kasus penyakit kaki gajah diatas telah mencapai 30 kasus dengan rincian pada tahun 2006 lalu jumlah penderita kaki gajah mencapai 14 orang, tahun 2007 sebanyak empat orang, 2008 sebanyak sembilan orang dan tahun 2009 hanya sebanyak tiga orang. Puluhan penderita kaki gajah tersebar di sebanyak 40 lokasi.
b.      Penyebaran
Kasus penyakit kaki gajah di Sukabumi mengalami penambahan dari tahun ke tahun walaupun jumlahnya bervariasi tiap tahunnya. Menurut sumber diatas Sukabumi bukan merupakan wilayah endemik penyakit filariasis. Dinkes setempat telah mengambil sampel darah warga di 20 lokasi berbeda untuk dilakukan upaya pencegahan.
Secara umum penyebaran penyakit Filariasis ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif cacing filaria. Nyamuk yang menularkan filariasis adalah Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya (got/saluran air, sawah, rawa, hutan).
c.       Faktor
Faktor penyebab terjadinya penyakit kaki gajah atau filariasis dapat berasal dari lingkungan tempat tinggal dan perilaku masyarakat. Lingkungan yang dekat dengan endemik penyakit kaki gajah akan berpeluang terkena dampak penyakit tersebut. Selain itu, perilaku masyarakat yang kurang menjaga kebersihan diri dan sekitar akan menyebabkan vektor penyakit kaki gajah mudah berkembang biak sehingga penularan penyakit ini semakin besar.
Beberapa upaya yang dapat dilakukakan untuk penanggulangan penyakit kaki gajah antara lain:
1. Menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan menutup ruangan dengan kasa kawat, memakai kelambu pada tempat tidur.
2. Memberantas nyamuk serta sumber perindukan yaitu dengan membersihkan lingkungan tempat tinggal, menutup tempat penampungan air yang digunakan karena berpotensi menjadi sarang nyamuk, menguras bak mandi, menggunakan obat nyamuk. 
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk salah satunya penyakit filariasis, sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemberantasan penyakit filariasis. 
Sumber:
Republika Online
http//harun yahya.com